silhouette_muslimah_by_maxzymus-d69der4

 

Kamis, 17 April 2014

Krik … krik … krik. Suara jam dinding yang terdengar begitu jelas di tengah malam, hening sekali, terkadang diiringi suara pepohonan yang disapu angin malam. Gelap, rumah kontrakan yang berisi 5 orang mahasiswa itu masih diselimuti kegelapan. “mirai dake shinjiteru  dareka ga waratte mo kamawanai” lagu yang bergenre jepang tiba-tiba berbunyi keras di handphone bututku, semakin lama semakin keras suaranya. Bukan pertanda ada sms atau panggilan masuk, melainkan alarm yang sudah aku setting sebelum tidur. Aku bangun seraya mengambil handphone lalu mematikan alarmnya. Jam menunjukan pukul 04.00 WIB.

Derap langkah kecilku menuntun ke sebuah tempat kecil nan kotor, dibersihkan sebersih apapun tetap saja tempat ini sangat dilarang dijadikan tempat ibadah, bahkan untuk makan sekalipun. Namun tempat ini sangat dibutuhkan, apalagi di pagi hari. di beberapa tempat tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan isi dompetnya agar bisa masuk ke tempat ini –kamar mandi.

Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, aku kembali berkarib dengan komputerku, bisa sampai 12 jam/hari stand by didepan komputer. Browsing, baca berita terupdate, desain, editing video dan masih banyak hal lainnya yang biasa aku lakukan. Layaknya sumber inspirasi, ketika kedua mata ini melihat layar berukuran 19 inc dengan tangan kanan memegang mouse, pikiranku serasa sedang menjelajahi dunia, selalu ada wawasan baru yang aku dapat.

“bang, hari ini ada acara ?” tanya temanku setengah sadar. Dengan tangan kanan yang masih sibuk mengucek kedua matanya. Seperti masih enggan untuk terbuka.

“iya iz, jam 8 nanti aku ada wawancara staf administrasi perpustakaan” jawabku santai. Nama lengkapnya Faiz Pratama, dia teman satu kontrakanku namun lain angkatan, dia satu tahun dibawahku.

“Wuihhh … makan-makanya bang jangan lupa”

“keterima aja belom iz, udah mau makan-makan aja” timpalku ketus.

“Oiya iz, nanti berangkat ke kampusnya bareng yak” ajakku dengan senyum terbaik.

“sip gampang bang” jawab Faiz seraya menutup pintu kamar mandi.

“Irwan Kurniawan …” panggil seorang karyawan perpustakaan. Badannya gemuk, wajahnya sangar namun memiliki poster tubuh yang kecil. Bukan seram jatuhnya, melainkan lucu. Aku mulai memasuki ruang wawancara, disana sudah ada yang menunggu. Kali ini asli menyeramkan, wajahnya yang sadis ditambah kumisnya yang tebal. Tunggu, kumisnya mengingatkan ku akan tokoh anak-anak Indonesia, yang selalu ada dalam serial film “Si Unyil”, tidak salah lagi, kumisnya sama percis seperti kumis Pak Raden, belum lagi dengan mulutnya yang selalu ditekan kedepan. Pandangan matanya tidak berhenti menatapku hingga aku duduk di sebuah kursi plastik yang telah disediakan tepat dihadapannya. Hatiku berdoa lirih, semoga semuanya baik-baik saja.

Senin, 22 April 2014

Setiap harinya di kontrakan hanya ada 4 orang yang mandi pagi. Faiz mahasiswa semester 7 asal dari Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta. Suroso dan Rosyid mahasiswa semester 3, suroso asli Jogja dan Rosyid asli Kalimantan. Dan yang terakhir Imam, mahasiswa semester 5 asli dari Banyumas. Mereka mandi pagi karena masih memiliki segudang aktifitas dikampus, bisa kuliah, ngerjain tugas kelompok ataupun ikut organisasi kemahasiswaan. Aku bukannya tidak suka mandi pagi, tapi sebagai mahasiswa akhir yang sudah merampungkan skripsinya dan tinggal menunggu wisuda, untuk apa mandi pagi ? toh tidak kemana-mana. Kami adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

Tapi, muali hari ini ada yang berbeda. Jumlah orang yang mandi setiap paginya bertambah menjadi 5 orang, berarti semua penghuni kontrakan mempunyai aktifitas setiap harinya. –Alhamdulillah. Wawancaraku kemarin berjalan lancar, dan mulai hari ini aku sudah masuk kerja sebagai staf administrasi perpustakaan di kampusku.

Kamis, 1 Mei 2014

Hari-hariku sekarang penuh dengan kegiatan, tidak lagi hanya mematung sendiri didepan komputer. Aku punya banyak teman baik ditempat kerjaku, ada mbak fitri yang menjadi icon di perpustakaan, semua kebijakan dia yang mengatur; ada mba Anggit, karyawan yang belum lama menikah, setiap kerja wajahnya selalu memancarkan kebahagiaan, mungkin ini dampak setelah nikah; ada Bu Lina, yang satu ini sudah terlihat tidak muda lagi, semua urusan surat-menyurat dia ahlinya; ada Pak Broto, beliau juga sama seperti bu Lina, sudah tidak terlihat muda. Pak Broto adalah orang yang mewancaraiku dulu, perawakannya memang seram tapi slera humornya lumayan tinggi, beliaulah yang membuat suasana kerja selalu berwarna dan yang terakhir ada Mas Arif Hakim, pria yang gemuk nan kecil itu. Wajahnya sadis, namun keseharianku justru lebih banyak berinteraksi bersama dirinya.

Hari ini aku dapat jadwal shift pagi. Aku sudah duduk rapih di bagian peminjaman kunci loker. Jadi setiap mahasiswa yang ingin masuk perpustakaan tidak diperbolehkan membawa tas, apapun jenisnya, tidak boleh mengenakan jaket, apapun bentuknya. Oleh karena itu semua barang bawaan harus disimpan di loker yang sudah disediakan oleh pihak perpustakaan, syaratnya mudah, cukup menukarkan kunci loker dengan kartu identitas seperti KTM, KTP atau SIM.

Tujuh pengunjung segera memasuki perpustakaan. Tiga mahasiswi asyik mengobrol sejak melangkah memasuki perpustakaan hingga saat menukar KTM dengan kunci loker, entah sibuk membicarakan apa, seru sekali, berbisik-bisik, tertawa; dua mahasiswa yang sedang terburu-buru sepertinya hendak mengembalikan buku pinjaman sebelum masuk perkuliahan, terlihat rapih dan wangi; dan satu lagi, melangkah dengan anggunnya, setiap langkah sepertinya sudah diatur sedemikian rupa. Kemudian dia membuka tas berwarna hijau tosca, mengambil dompet yang berukuran besar. Kerudung yang ia pakai tergerai panjang, warnanya hitam, mengenakan baju berwarna sama seperti tasnya, hijau tosca. Wajahnya seperti bukan keturunan orang jawa, selintas aku lirik tadi, wajahnya keturunan melayu.

“minta kuncinya mas”

“mas, bisa minta kunci lokernya?”

Aku tersadar dari lamunanku, cukup lama aku melirik wajahnya. “iya, mba maaf, ini kuncinya” kunci loker itu berpindah tangan, seraya senyum, karena rasa malu.

Wajahnya tidak asing, sepertinya aku pernah bertemu tapi entah dimana.

“Woiiiii!”terdengar suara dari samping kananku. “siapa wan? Cantik tuh, kenalin dong” Mas Arif berkata nyindir.

“tau namanya aja belom mas, tapi aku merasa pernah ketemu deh mas, waktu itu kita saling pandang” jelasku begitu semangat dengan wajah yang makin memerah.

“ah .. paling ketemu di mimpi wan” mas Arif tertawa kecil, wajahnya sperti pemain antagonis di sinetron. Sebal.

Jam sudah menunjukan pukul 16.00 WIB, waktunya perpustakaan ditutup. Pengunjung satu persatu mulai meninggalkan perpustakaan. Aku dan beberapa karyawan lainnya mulai beraksi; Kursi-kursi dirapihkan; AC dimatikan dan buku-buku dikembalikan ke rak sesuai dengan katalognya.

“wan! Ada barang pengunjung tertinggal” aku menoleh, merapikan kursi dengan memasukkannya ke bawah meja.

“barang apa mbak?” tanyaku pada mbak Anggit.

“kamu tadi gak lihat siapa yang duduk disini?”

“Ah, Irwan paling juga cuma lihat perempuan yang kamu bilang berwajah melayu itu. Mana perhatian dengan pengunjung lain?” lagi-lagi mas Arif menggoda, tertawa.

Aku hendak tertawa, tetapi mulutku tertutup. Ini apa ?

Aku terdiam. Telingaku tidak lagi mendengarkan godaan mas Arif. Mataku sibuk menatap lekat-lekat benda yang kupegang, waduh, ini buku catatan kuliah berwarna merah, bersampul rapih dan tanpa nama. Mungkin yang punya lupa menamainya. Tapi yang jelas dia pasti datang lagi ke perpustakaan untuk mengambil buku catatannya. Aku harus menyimpannya.

Minggu, 4 Mei 2014

Sudah dua hari buku catatan kuliah berwarna merah itu aku simpan, yang punya tak kunjung datang ke perpustakaan untuk mengambilnya, apa mungkin buku ini sudah tidak terpakai ? tapi tidak mungkin, buku serapih ini sudah tidak terpakai. Apa jangan-jangan yang punya buku ini sudah mencari kemana-mana padahal tersimpan rapih di perpustakaan.

Buku catatan kuliah itu menjadi bahan perbincangan seru hingga beberapa hari kemudian, pertama-tama dengan temanku sekontrakan.

“mana sina bang, kulihat bukunya?” Faiz mengelap-ngelapkan tangannya yang masih berlepotan sambal, ingin tahu.

Aku melotot. “mana bolehlah tangan kotormu pegang buku ini”

“iya, iya bentar bang”. Faiz menyengir, beranjak ke dapur, mencuci lalu menyimpan piring yang baru saja selesai dipakai.

Aku pun mulai bercerita. Tapi rasanya ada yang kurang kalo langsung menceritakan poin permasalahan. Oke, dimulai dengan pengalaman kerjaku sebagai Staf Administrasi Perpustakaan, sudah berjalan lebih dari satu minggu namun baru kali ini sempat berbagi cerita bersama teman satu kontrakan. Aku menceritakan mulai dari pendataan buku baru; transaksi peminjaman dan pengembalian buku sampai setiap rak buku yang harus aku hafalkan. Faiz hanya mengangkat kepala sejenak, tidak peduli. Sepertinya, dia ingin langsung ke pokok permasalahan.

Kulanjutkan dengan cerita tentang gadis berbaju hijau tosca berwajah melayu, alunan kakinya yang anggun, kerudung hitam tergerai panjang, wajah teduh menawan, ditambah lesung pipi yang membuatnya lebih indah dipandang. Belum selesai aku membagi deskripsiku, kepala Faiz langsung terdongkrak, matanya menyala seratus watt, tidak sabaran. “tadi kamu bilang apa bang? Gadis berlesung pipi?”.

Aku tertawa. Beginilah sifat Faiz, kalo yang diceritakan tentang lawan jenisnya, pokok permasalahan sepenting apapun bisa langsung hilang. Begitulah nasib bujang. Tapi, yang membuat aku salut dengan dirinya. Dia pantang pacaran sebelum nikah, prinsip dialah yang membuatku mengambil keputusan paling sadis yang pernah aku lakukan seumur hidup. Aku mengakhiri hubunganku dengan seorang gadis. Dengan dalih-dalih agama dan pemikirannya yang realistis, pacaran hanya akan membawa seseorang kepada kehancuran. Meskipun, ada sebagian pasangan yang bisa mempertahankan hubungan mereka hingga jenjang pernikahan. Tapi Faiz meyakinkanku, orang yang pacarannya setelah menikah, memiliki cerita dan pengalaman yang lebih menarik.

“mana bang bukunya, sini ta lihat” Faiz menyodorkan tangannya yang sudah bersih.

Aku akhirnya memberikan buku itu.

Faiz mengambilnya tidak sabaran, memeriksanya dengan lekat-lekat, diraba, diperiksa lantas tiba-tiba dibukanya.

“buat apa kamu buka iz?” aku mendelik.

“ya biar tahu siapa yang punya buku ini” Faiz sama sekali tidak merasa ganjil. Kalo memang ada namanya sudah pasti buku itu tidak disini, aku masih menyimpannya karna buku itu tanpa nama.

Aku tertawa.

“ini pastilah buku milik gadis berlesung pipi berbaju hijau tosca itu bang” Faiz mematut-matut, sok tahu seperti biasanya. “Dia waktu itu ke perpustakaan kan bang?”

“Ada banyak mahasiswi yang masuk ke perpustakaan iz”.

“Ah, pasti milik gadis berbaju hijau tosca itu bang”. Faiz mengotot.

“boleh jadi. Kita lihat saja besok dan besok lagi. Boleh jadi yang merasa hilang buku ini mencari ke perpustakaan.” Aku mengiyakan, dari pada berlanjut lama.

“hoi, apa yang mau kamu lakukan?” aku mencegah.

“melihat catatan buku ini lah bang. Kali saja ada nama yang tertulis di catatannya.” Faiz memasang wajah tanpa dosa.

“Dasar tidak sopan.” Aku merampas buku itu. “kamu tidak boleh membuka lebih dalam lagi iz. Ini buku milik orang lain.”

“apa salahnya? Sekedar ingin tahu.”

“jelas salah. Karena rasa ingin tahumu itu tidak pada tempatnya. Cukup melihat depan saja, kebanyakan orang memberi identitas di halaman pertama” Aku menghardik, bergegas memasukan buku itu ke tas. Baiklah lebih baik aku akhiri saja cerita ini, sebelum Faiz memaksa.

“loh mau kemana bang?” Faiz merasa panik.

“Nyuci iz, mumpung hari minggu. Hari biasanya kan aku harus kerja.”

“tega sekali kau bang” wajah Faiz nelangsa.

“tega apanya?”

“sudah menggangu waktu makanku. Sekarang sudah berhasil. Kamu pergi begitu saja, membiarkanku merana dihinggapi rasa ingin tahu. Sinilah bukunya bang. Aku harus melihat isinya” Faiz mulai memaksa.

Nah, apa kubilang. Benar kan?

-bersambung

Sumber Inspirasi: Novel “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah”

2 thoughts on “Buku Catatan Merah | Bagian I

Leave a comment